Mengenal Kelapa Kopyor
Kelapa kopyor menjadi primadona masyarakat
desa dan perkotaan. Namun, banyak yang masih kurang faham apa yang dimaksud
kelapa kopyor. Kelapa kopyor adalah kelapa abnormal (tidak biasa) atau berbeda
dengan kelapa lainnya. Ia memiliki rasa yang kenyal, gurih dan lezat. Disebut
kopyor karena dagingnya lepas dari cangkangnya. Sehingga memiliki suara kupyuk
kupyuk bila kelapanya digoyang goyang.
Manfaat Kelapa Kopyor
Kelapa kopyor memiliki nilai ekonomis yang
tinggi. Bahkan, nilainya bisa lima kali lipat dari kelapa biasa. Jika kelapa
biasa dijual Cuma 8 sampai 10 ribu per butir, kelapa kopyor bisa sampai tiga
puluh lima ribu hingga 50 ribu rupiah per butir. Tentu sesuai ukuran buah dan
bentuknya tentunya. Kelapa kopyor selain dimanfaatkan untuk bahan baku industri
makanan seperti pabrik es krim, pabrik
roti, kembang gula, juga menjadi menu khusus berupa es kopyor dan degan
kopyor.
Cara Budidaya kelapa kopyor
Untuk
menanam kelapa kopyor pada prinsipnya cukup sederhana. Sebagaimana menanam
pohon kelapa lainnya. Yaitu siapkan media tanam yang subur, bibit kelapa kopyor
yang berkualitas, ketersediaan air yang cukup, jarak tanam yang ideal, sinar
matahari yang cukup, pemupukan yang cukup serta bebas dari serangan hama alias
bebas penyakit.
Metode perbanyakan kelapa kopyor
Selama ini ada tiga macam jenis kelapa kopyor
ditinjau dari metode perbanyakannya. Pertama kultur jaringan. Kedua kultur
embrio. Kedua metode ini dilakukan oleh IPB Bogor. Sebuah sumber mengatakan
hasil metode tersebut menghasilkan prosentase kopyor hingga 90 sampai seratus
persen. Hanya saja harganya sangat mahal. Mencapai jutaan per batangnya. Dan
kami sendiri belum pernah menemui dimana daerah yang sudah menanam dan panen
dari dua metode tersebut.
Ketiga adalah generatif (indukan). Cara ini disebut
konvensional. Dalam arti yang sudah berlaku umum di masyarakat, terutama
kawasan pesisir Pati Jawa Tengah. Kelapa genjah kopyor Pati Jawa Tengah memang
diakui secara nasional sejak tahun 2010 setelah diteliti selama tiga tahun oleh
Balitpalma Manado di tahun 2007-2010. Dan di tahun 2010 Kabupaten Pati
mendapatkan sertifikat dan diakui oleh Menteri Pertanian waktu itu dan
dilepas(diakui) tiga varietas khas Pati, yakni kelapa genjah hijau kopyor,
kelapa genjah coklat dan kelapa genjah kuning.
Perlahan tapi pasti, sejak saat itu,
permintaan akan bibit kelapa kopyor Pati terus meningkat dan dikembangkan oleh
khalayak masyarakat. Keuntungan dari kelapa genjah kopyor Pati adalah harganya
murah, sudah terbukti selama puluhan tahun serta prosentase kopyor hingga
mencapai 70 persen. Disamping itu, menanam kelapa adalah investasi jangka
menengah dan panjang yang bisa dinikmati hingga anak cucu. Selama mencoba
menanam bibit kelapa genjah kopyor.
Lampung (Aksara Lampung: ) adalah sebuah
provinsi paling selatan di Pulau Sumatra, Indonesia, dengan ibu kota Bandar
Lampung. Provinsi ini memiliki dua kota yaitu Kota Bandar Lampung dan Kota
Metro serta 13 kabupaten. Posisi Lampung secara geografis berada di sebelah
barat berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah timur dengan Laut Jawa, di
sebelah utara berbatasan dengan provinsi Sumatra Selatan, dan di sebelah
selatan berbatasan dengan Selat Sunda.
Provinsi Lampung memiliki pelabuhan utama
bernama Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Bakauheni, bandar udara utama yakni
Radin Inten II terletak 28 km dari ibu kota provinsi, serta Stasiun
Tanjungkarang di pusat ibukota. Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret
1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian
menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung
merupakan keresidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatra Selatan.
Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18
Maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi
Sumatra Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah
menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri
yang dapat menambah khazanah adat budaya di Nusantara. Oleh karenanya, pada
zaman VOC daerah Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Lampung pernah menjadi wilayah kekuasaan
Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Sebelum akhirnya
Kesultanan Banten menghancurkan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Sultan
Banten yakni Hasanuddin, lalu mengambil alih kekuasaan atas Lampung. Hal ini
dijelaskan dalam buku The Sultanate of Banten karya Claude Guillot pada halaman
19 sebagai berikut:
"From the beginning it was abviously
Hasanuddin's intention to revive the fortunes of the ancient kingdom of
Pajajaran for his own benefit. One of his earliest decisions was to travel to
southern Sumatra, which in all likelihood already belonged to Pajajaran, and
from which came bulk of the pepper sold in the Sundanese region".[7]
Di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa
(1651–1683) Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC
di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku. Dalam masa pemerintahannya, Sultan Ageng
berupaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten yang terus mendapat hambatan karena
dihalangi VOC yang bercokol di Batavia. VOC yang tidak suka dengan perkembangan
Kesultanan Banten mencoba berbagai cara untuk menguasainya termasuk mencoba
membujuk Sultan Haji, Putra Sultan Ageng untuk melawan Ayahnya sendiri.
Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri,
Sultan Haji meminta bantuan VOC dan sebagai imbalannya ia menjanjikan akan
menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7
April 1682 Sultan Ageng Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji dinobatkan
menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan
Sultan Haji menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus
1682 yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan
perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten
kepada VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan
armada VOC dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh
Vander Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji yang mewakili Sultan
Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini tidak berhasil dan ia tidak
mendapatkan lada yang dicarinya. Perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung
mengalami kegagalan disebabkan karena tidak semua penguasa di Lampung langsung
tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan kompeni,
sebagian mereka masih mengakui Sultan Ageng Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan
menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sementara itu timbul keraguan dari VOC
mengenai status penguasaan Lampung di bawah Kekuasaan Kesultanan Banten, yang
kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidaklah mutlak.
Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di
Lampung yang disebut "jenang" atau kadang-kadang disebut gubernur
hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi (lada).
Sedangkan para penguasa Lampung asli yang
terpencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut "adipati" secara
hierarki tidak berada di bawah koordinasi penguasaan jenang/gubernur.
Disimpulkan penguasaan Sultan Banten atas Lampung hanya dalam hal garis pantai
saja dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil bumi terutama lada.
Dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling
membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada
tahun 1811 ia menduduki daerah Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung
kepada Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan
Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829
ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.
Pada masa itu, sejak tahun 1817 posisi Radin
Inten, pejuang perlawanan Lampung semakin kuat yang membuat Belanda merasa
khawatir dan mengirimkan ekspedisi kecil dipimpin oleh Asisten Residen Krusemen
yang menghasilkan persetujuan bahwa:
Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari
Belanda sebesar f. 1.200 setahun.
Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan
memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap tahun.
Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi
wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu berada di bawah pengaruhnya.
Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi
oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Sehingga pada tahun 1825 Belanda memerintahkan
Leliever untuk menangkap Radin Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat
menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever serta anak buahnya. Belanda yang
ketika itu juga tengah menghadapi Perang Diponegoro (1825–1830), dibuat tidak
berkutik terhadap perlawanan tersebut. Tahun 1825 Radin Inten meninggal dunia
lalu digantikan oleh putranya Radin Imba Kusuma.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun
1830 Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di daerah Semangka, dilanjutkan pada
tahun 1833 Belanda kembali menyerang benteng Radin Imba Kusuma, yang semuanya
menemui kegagalan. Baru pada tahun 1834 setelah Asisten Residen diganti oleh
Perwira Militer Belanda yang didukung dengan kekuatan penuh, maka Benteng Radin
Imba Kusuma berhasil dikuasai.
Radin Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga,
namun penduduk daerah Lingga ini menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda.
Radin Imba Kusuma kemudian dibuang ke Pulau Timor.
Belanda juga kian gencar mendekati rakyat
pedalaman melalui "Jalan Halus" dengan memberikan berbagai hadiah
kepada pemimpin perlawanan rakyat Lampung yang ternyata tidak membawa hasil.
Sehingga akhirnya Belanda membentuk tentara sewaan yang terdiri dari
orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi kepentingan Belanda di daerah
Teluk Betung dan sekitarnya. Dilain sisi perlawanan rakyat yang digerakkan oleh
putra Radin Imba Kusuma yang bernama Radin Inten II terus berlangsung, sampai
akhirnya Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda
yang khusus didatangkan dari Batavia.
Sejak itu Belanda mulai leluasa menancapkan
kakinya di daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan yaitu penanaman
kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit. Untuk kepentingan
pengangkutan hasil perkebunan itu pada tahun 1913 dibangun jalan kereta api
dari Teluk Betung menuju Palembang.
Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak
ketinggalan ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan
penindasan penjajah yang silih berganti. Sampai akhirnya sebagai mana
dikemukakan pada awal uraian ini pada tahun 1964 Keresidenan Lampung
ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Lampung.
Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun
mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika
Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi
salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut
telah pudar.
Geografi
Topografi
Provinsi Lampung memiliki luas 35.376,50 km²
dan terletak di antara 105°45'-103°48' BT dan 3°45'-6°45' LS. Daerah ini berada
di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah timur dengan Laut
Jawa, di sebelah utara berbatasan dengan provinsi Sumatra Selatan, dan di
sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda. Beberapa pulau termasuk dalam
wilayah Provinsi Lampung, yang sebagian besar terletak di Teluk Lampung, di
antaranya: Pulau Darot, Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau Sebuku, Pulau Kelagian,
Pulau Sebesi, Pulau Pahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus dan Pulau Tabuan. Ada
juga Pulau Tampang dan Pulau Pisang di yang masuk ke wilayah Kabupaten Pesisir
Barat.
Keadaan alam Lampung, di sebelah barat dan
selatan, di sepanjang pantai merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai
sambungan dari jalur Bukit Barisan di Pulau Sumatra. Di tengah-tengah merupakan
dataran rendah. Sedangkan ke dekat pantai di sebelah timur, di sepanjang tepi
Laut Jawa terus ke utara, merupakan perairan yang luas.
Gunung
Gunung-gunung yang puncaknya cukup tinggi,
antara lain:
Gunung Pesagi (2.262 Mdpl) di Liwa, Lampung
Barat
Gunung Tanggamus (2.156 Mdpl) di Kotaagung,
Tanggamus
Gunung Tebak (2.115 Mdpl) di Sumber Jaya,
Lampung Barat
Gunung Seminung (1.881 Mdpl) di Sukau, Lampung
Barat
Gunung Sekincau (1.718 Mdpl) Liwa, Lampung
Barat
Gunung Ratai (1.681 Mdpl) di Padang Cermin,
Pesawaran
Gunung Pesawaran (1.662 Mdpl) di Kedondong,
Pesawaran
Gunung Rindingan (1.506 Mdpl) di Pulau
Panggung, Tanggamus
Gunung Rajabasa (1.261 Mdpl) di Kalianda,
Lampung Selatan
Gunung Betung (1.240 Mdpl) di Pesawaran dan
Bandar Lampung
Gunung Krakatau (813 Mdpl) di Selat Sunda,
Lampung Selatan
Sungai
Sungai-sungai yang mengalir di daerah Lampung
menurut panjang dan cathment area (c.a)-nya adalah:
Way Sekampung, panjang 265 km, c.a. 4.795,52
km2
Way Semaka, panjang 90 km, c.a. 985 km2
Way Seputih, panjang 190 km, c.a. 7.149,26 km2
Way Jepara, panjang 50 km, c.a. 1.285 km2
Way Tulangbawang, panjang 136 km, c.a. 1.285
km2
Way Mesuji, panjang 220 km, c.a. 2.053 km2
Way Seputih mengalir di daerah kabupaten
Lampung Tengah dengan anak-anak sungai yang panjangnya lebih dari 50 km adalah:
Way Terusan, panjang 175 km, c.a. 1.500 km2
Way Pengubuan, panjang 165 km, c.a. 1.143,78
km2
Way Pegadungan, panjang 80 km, c.a. 975 km2
Way Raman, panjang 55 km, c.a. 200 km2
Way Tulangbawang mengalir di kabupaten
Tulangbawang dengan anak-anak sungai yang lebih dari 50 km panjangnya, di
antaranya:
Way Kanan, panjang 51 km, c.a. 1.197 km2
Way Rarem, panjang 53,50 km, c.a. 870 km2
Way Umpu, panjang 100 km, c.a. 1.179 km2
Way Tahmy, panjang 60 km, c.a. 550 km2
Way Besay, panjang 113 km, c.a. 879 km2
Way Giham, panjang 80 km, c.a. 506,25 km2 (Sumber Wikipedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar