Ditinjau dari
segi luasan dan produksi, kelapa Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir
mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 tercatat bahwa areal perkebunan kelapa
Indonesia seluas 3,7 juta dengan produktivitas 1,1 ton/ha/tahun (Kasryno et
al., 1998). Produktivitas tersebut tergolong rendah dibandingkan produktivitas
kelapa Dalam Unggul yang mencapai 1,5- 2,0 ton kopra/ha/tahun.
Salah satu
faktor penyebab rendahnya produktivitas pertanaman kelapa selama ini adalah
komposisi tanaman tua yang makin meningkat (Allorerung, 1999). Tanaman kelapa
yang semakin tua, pohonnya akan bertambah tinggi dan buahnya makin berkurang.
Allorerung (1990) mengemukakan bahwa produktivitas tanaman kelapa setelah umur
50 tahun akan menurun sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Disamping itu
biaya panen meningkat dengan bertambahnya tinggi pohon sehingga tidak ekonomis
lagi.
Oleh sebab itu kelapa yang telah tua terutama pada Kelapa Dalam, perlu
diremajakan. Sebaiknya peremajaan dilakukan pada kelapa berumur lebih dari 50 tahun,
karena pendapatan yang diperoleh tidak efisien lagi (Lumentut et al. 2004).
Meskipun produktivatas saat ini dapat ditingkatkan dua kali dengan menggunakan
bibit unggul dalam usaha peremajaan kelapa, pendapatan dari usahatani kelapa
monokultur tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi petani.
Hal ini disebabkan antara lain oleh (a) nilai tukar kelapa butiran atau kopra
relatif rendah, (b) semakin menyempitnya area pemilikan petani, dan (c)
terbatasnya kemampuan 12 – Volume 4 Nomor 1, Juni 2005 : 11 - 19 petani
memelihara tanaman kelapanya (Mahmud dan Allorerung, 1997). Seiring dengan itu,
ragam komoditas pertanian yang laku dipasaran semakin meningkat dan munculnya
alternatif sumber minyak nabati seperti kelapa sawit.
Situasi tersebut telah
mendorong petani untuk menanam berbagai komoditi lain di antara tanaman kelapa
yang sudah ada dan melakukan deversifikasi produk. Dengan demikian, tercipta
sistem usahatani campuran. Akan tetapi, karena sejak semula tidak direncanakan
demikian, maka umumnya usahatani campuran yang sudah terbentuk tidak teratur
dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor teknis dan ekonomis, sehingga hasilnya
belum optimal. Meskipun belum optimal, pengusahaan tanaman sela diantara kelapa
telah mampu meningkatkan pendapatan petani secara nyata (Pajouw et al., 1991a).
Salah satu masalah yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan usahatani
campuran adalah kenyataan bahwa harga komoditas pertanian sangat flaktuatif dan
rentan terhadap perubahan pasar. Oleh karena itu pola usahatani yang diperlukan
dalam kaitan program peremajaan kelapa adalah yang memiliki fleksibilitas
paling besar. Fleksibilitas diartikan keleluasaan secara ekologik dan agronomik
mengusahakan berbagai tanaman sela di antara kelapa sesuai dengan kebutuhan pasar
(Allorerung dan Mahmud, 1993). Sistem peremajaan kelapa yang disertai dengan
penyesuaian jarak dan sistem tanam memungkinkan pengusahaan tanaman sela secara
optimal dapat mendorong petani melakukan peremajaan kelapanya.
Namun demikian
pelaksanaan peremajaan kepala sampai saat ini tidak berjalan lancar karena
petani enggan melakukan dengan berbagai alasan Alasan yang mendasar yaitu
terputusnya pendapatan petani dari kelapa tua selama 5-8 tahun selama tanaman
pengganti belum berproduksi baik. Untuk itu perlu dicari suatu metode atau
teknik peremajaan yang memungkinkan tanaman pengganti dapat tumbuh baik dan
pendapatan petani dari kelapa tua tidak terputus selama tanaman pengganti belum
menghasilkan serta memperoleh nilai tambah dari usaha pemanfaatan lahan
diantara kelapa.
Tulisan ini membahas mengenai peremajaan kelapa dan
masalahnya, usahatani polikultur kelapa, peremajaan kelapa yang disertai dengan
usahatani polikultur, serta ketersediaan teknologi usahatani yang berkaitan
dengan program peremajaan kelapa.
PEREMAJAAN KELAPA DAN MASALAHNYA Masalah
pokok yang dihadapi petani ketika dihadapkan pada pilihan pengambilan keputusan
untuk tidak atau melakukan peremajaan adalah : (1) Pendapatan dari menjual buah
kelapa atau kopra yang sudah dinikmati bertahun-tahun sampai tanaman pengganti
berproduksi baik, (2) Bagaimana memperoleh pendapatan pengganti atas kehilangan
pendapatan akibat peremajaan, (3) Bagaimana membiayai pelaksanaan peremajaan
tersebut berupa pengadaan bibit, penebangan tanaman tua, pembersihan kebun dan
penanaman, dan (4) Bagaimana membiayai pemeliharaan tanaman baru yang justru
diperlukan pada saat pendapatan dari kelapa sudah tidak ada.
Menurut Davis dan
Sudarsip (1978) secara teknis ada tiga cara peremajaan kelapa, yaitu : (a)
Peremajaan Tebang Habis (penanaman baru sesudah semua pohon tua ditebang), (b)
Peremajaan Tebang Bertahap (penanaman dan penebangan kelapa tua bertahap), dan
(c) Peremajaan Sisipan (penebangan kelapa tua dilakukan sesudah kelapa muda
berbuah). Ketiga cara tersebut masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian
bila dilaksanakan : (a) peremajaan tebang habis, mempunyai keuntungan yaitu
tanaman muda/pengganti tidak akan mengalami resiko kerusakan dan persaingan
unsur hara dan cahaya matahari, kerugiannya petani kehilangan hasil dari
tanaman tua, karena itu petani sukar melaksanakan peremajaan dengan cara
tersebut. (b) peremajaan tebang bertahap, mempunyai keuntungan yaitu
pertumbuhan kelapa muda masih baik, juga kelapa tua lainnya masih memberikan
hasil kepada petani dan kerugian dari cara ini yaitu pada waktu penebangan
kelapa tua, akan ada kemungkinan merusak sebagian tanaman muda. Namun hal ini
dapat diatasi dengan memangkas lebih dulu daun dan tangkai buah yang ada baru
diikuti dengan penebangan kelapa tua. (c) peremajaan sisipan, keuntungannya
petani masih memperoleh hasil dari tanaman tua dan tanaman muda setelah
menghasilkan. Kerugiannya kemungkinan tanaman muda akan tumbuh bersaing dengan
tanaman tua sehingga pertumbuhan tanaman muda terganggu. Budidaya Peremajaan Tebang
Bertahap pada Usahatani Polikultur Kelapa (Maliangkay Ronny Benhdard) 13 Sejak
tahun 1978-1989 ada dua sistim peremajaan kelapa yang berkembang di tingkat
petani dan perusahaan perkebunan kelapa yaitu peremajaan secara tebang habis
dan peremajaan tradisional sisipan yang biasa dilakukan petani (Mahmud et al.,
1990). Dalam peremajaan tradisional kelapa tua tidak ditebang, tetapi hanya
disisipkan tanaman baru di antara kelapa tua (Mahmud et al, 1990). Di Sulawesi
Tengah 77,70% pelaksanaan peremajaan kelapa dilakukan secara sisipan (Torar et
al, 1996).
Dengan demikian, pertumbuhan kelapa menjadi tumpang tindih antara
kelapa tua dengan kelapa pengganti. Jadwal penebangan kelapa tua tidak teratur.
Peremajaan kelapa melalui sistim tebang habis dapat menyebabkan terputusnya
sumber pendapatan petani selama kelapa yang baru belum berproduksi.
Hal ini
berlangsung sekurang-kurangnya selama empat tahun jika kelapa pengganti yang
digunakan adalah jenis hibrida dan tujuh tahun untuk jenis kelapa Dalam.
Sekitar 50% jumlah tanaman kelapa yang ada sudah berumur di atas 50 tahun dan
tidak produktif lagi. Atas dasar itu, mulai Pelita I dan II pemerintah
mencanangkan program peremajaan kelapa seluas 251.595 ha dan pada Pelita III
ditargetkan seluas 173.715 ha yang terdiri dari 107.400 ha dengan bibit kelapa
Dalam dan 66.315 ha dengan kelapa Hibrida. Sistem peremajaan yang diprogramkan
adalah tebang habis. Dalam pelaksanaan peremajaan, evaluasi yang dipakai adalah
dengan menghitung jumlah bibit atau cikal yang tersalurkan kepada petani dengan
harga Rp. 55/ cikal. Pada pelaksanaannya upaya peremajaan tidak berjalan dengan
lancar. Jumlah tanaman kelapa tua dan rusak terus bertambah karena pelaksanaan
peremajaan tebang habis tidak mampu mengimbangi laju pertambahan tanaman kelapa
yang menjadi tua dan rusak.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan kedua sistim
tersebut, Balitka telah mencoba mengkaji sistim alternatif yang diharapkan
dapat mengatasi atau sekurang-kurangnya meminimalkan kelemahan-kelemahan kedua
sistim tersebut. Penelitian dimulai tahun 1978 dan hasilnya dilaporkan oleh
Mahmud, et al. (1987) bahwa penebangan kelapa tua secara bertahap masingmasing
50% tahun pertama dan tahun ketiga ternyata tidak berbeda dengan tebang
bertahap sebesar 20%/tahun mulai tahun pertama. Hasil percobaan dari lima
perlakuan tersebut di atas ternyata penebangan kelapa tua 50% pada tahun
pertama dan tahun ketiga menghasilkan lilit batang, jumlah bunga betina dan
jumlah buah yang lebih besar berturut-turut 125,2 cm, 291,6 bunga
betina/pohon/tahun dan 48,2 butir/ pohon/thn, pada tanaman pengganti berumur 8
tahun, dibandingkan dengan metoda tebang habis (100% tahun I). Oleh karena itu
perlu dilakukan program peremajaan kelapa dengan cara tebang bertahap yang
lebih menguntungkan petani dibanding dengan cara yang lain. Di samping itu,
usaha penanaman tanaman sela berupa tanaman pangan dan tanaman industri perlu
dilakukan. USAHATANI POLIKULTUR KELAPA Meskipun teknologi tebang bertahap tidak
menyebabkan kehilangan pendapatan sekaligus pada saat dimulai peremajaan,
tetapi tetap menyebabkan penurunan pendapatan yang baru akan pulih setelah 6-10
tahun. Artinya, tebang bertahap tidak dapat memecahkan secara tuntas masalah
pendapatan petani dari kelapa.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka teknologi
pemanfaatan lahan dengan mengintroduksi tanaman sela di antara kelapa secara
teknis-ekonomis dapat mengatasi persoalan kehilangan pendapatan petani, bahkan
berpeluang untuk meningkat dibandingkan pendapatan dari kelapa sebelumnya.
Penanaman tanaman sela di antara tanaman kelapa berarti di dalam satu areal
lahan usahatani diusahakan dua tanaman atau lebih sehingga produk yang
dihasilkan berasal dari beberapa tanaman yang masing-masing produknya mempunyai
kontribusi terhadap pendapatan usahatani (Pajouw dan Maliangkay, 1991b). Apabila
harga salah satu produk tanaman mengalami penurunan maka pendapatan usahatani
dapat dikompensasi oleh produk lainnya dan sebaliknya, sehingga terciptanya
pendapatan petani yang lebih stabil.
Disamping itu resiko usahatani menjadi
lebih kecil (Magat, 1999a). Tarigans (2000) menemukan dari hasil penelitiannya
bahwa dengan adanya tanaman sela pada usahatani berdasarkan kelapa tidak saja
menaikkan produksi tanaman pokok tetapi juga meningkatkan efisiensi pemakaian
tenaga kerja dan input usahatani. Secara keseluruhan produktivitas usahatani
polikultur lebih tinggi karena pengusahaan tanaman sela diantara tanaman kelapa
yang mengikuti teknologi anjuran akan memberikan efek sinergisme terhadap
tanaman sehingga pertumbuhan dan produksi menjadi lebih tinggi. Studi lainnya
yang dilakukan pada 14 – Volume 4 Nomor 1, Juni 2005 : 11 - 19 usahatani kelapa
polikultur menunjukkan bahwa dengan hadirnya tanaman kopi sebagai tanaman sela
diantara kelapa meningkatkan buah kelapa yang jadi (fruits set) sehingga
produktivitas kelapa meningkat dan pemupukan tanaman pokok akan berdampak
positif terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sela.
Hasil-hasil studi yang
dilaksanakan di India dan Philipina menyimpulkan bahwa cara yang paling tepat
untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa salah satunya melalui penerapan
sistem usahatani kelapa polikultur (Thampan, 1996); Rethinam, 2001; Magat,
1999b). Di Indonesia penanaman kelapa secara campuran dengan kakao memberikan
keuntungan tertinggi dibandingkan dengan penanaman monokultur (Darmaskoro et
al., 1993). Pengalaman PT. Sambu Group yang melaksanakan program PIR-TRANS
dilaporkan Fachry (1997) bahwa pendapatan petani plasma dengan penanaman nanas
secara tumpangsari dengan tanaman kelapa dapat meningkatkan pendapatan petani
dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan pendapatan petani yang menanam
tanaman kelapa secara monokultur. Penanaman lada perdu diantara tanaman kelapa
produktif dengan jumlah populasi 3.500 tanaman per hektar merupakan salah satu
alternatif tanaman sela di antara kelapa yang dapat memberikan kontribusi
pendapatan rata-rata sebanyak Rp. 1.594.897/ha/tahun (Wahid et al., 1998).
Pemakaian tenaga kerja dan sarana produksi akan lebih efisien pada usahatani
kelapa campuran, karena pemeliharaan dan pemupukan tanaman pokok secara tidak
langsung akan berpengaruh positif terhadap tanaman sela maupun sebaliknya
(Sulistyo, 1998). Dengan demikian, pemakaian input menjadi lebih efisien serta
pemakaian tenaga kerja menjadi lebih produktif.
PEREMAJAAN KELAPA TEBANG
BERTAHAP PADA USAHATANI POLIKULTUR
Masalah teknis dalam pelaksanaan peremajaan
kelapa mencakup, sistem peremajaan, kultivar kelapa pengganti, pola tanam,
pemanfaatan kayu kelapa, dan teknik budidaya kelapa dan tanaman sela. Sedangkan
masalah non teknis mencakup persepsi dan tingkat pengetahuan petani, tingkat
ketergantungan petani terhadap kelapa, status kepemilikan lahan dan tanaman
kelapanya, adat atau budaya setempat, biaya investasi dan keterkaitannya dengan
sub sistem lain dalam sistem agribisnis (Mahmud dan Allorerung, 1997). Untuk
mengatasi masalah tersebut, diperlukan teknik atau sistem peremajaan kelapa
yang memungkinkan tanaman pengganti dapat tumbuh baik dan pendapatan petani
dari kelapa tua tidak terputus selama tanaman pengganti menghasilkan serta
memperoleh nilai tambah dari usaha pemanfaatan lahan (tanaman sela) di antara
tanaman kelapa.
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, menggunakan
kelapa Hibrida Khina sebagai tanaman pengganti sedangkan tanaman pangan dan
tanaman industri sebagai tanaman sela. Peremajaan kelapa dengan metode tebang
bertahap disertai introduksi tanaman sela diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas lahan dan pendapatan petani serta membuka kesempatan kerja.
Peremajaan dengan Kelapa Hibrida Khina-1 dan Tanaman Pangan Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peremajaan kelapa dengan sistim tebang bertahap 20% tiap
tahun dan diikuti dengan penanaman tanaman sela pangan di antara kelapa sampai
tahun ke 4 tidak berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan kelapa Hibrida Khina-1,
sebagai tanaman pengganti (Taulu et al., 1993). Tanaman sela yang diusahakan
adalah jagung, kacang tanah dan kacang hijau. Kelapa Hibrida Khina-1 (silangan
kelapa Genjah Kuning Nias x kelapa Dalam Tenga) ditanam dengan jarak tanam 9 x
9 m bujur sangkar. Penebangan kelapa tua yang digunakan adalah : (1) Kelapa tua
ditebang 100% sebelum tanaman pengganti ditanam, (2) Kelapa tua ditebang 50%
sebelum kelapa pengganti di tanam dan 50% tahun ketiga, dan (3) Kelapa tua
tebang 20% tiap tahun. Pertumbuhan vegetatif dan generatif kelapa pengganti
Khina-1 pada umur 4 tahun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh sistim
penebangan kelapa tua terhadap ukuran lilit batang dan jumlah daun kelapa
Khina-1 umur 4 tahun pada sistem peremajaan dengan Kelapa Khina-1 dan tanaman
pangan. No. Sistim Penebangan (%) Lilit Batang (cm) Jumlah Pelepah Daun 1. 100
130,9 a 26,45 a 2. 50 120,9 b 22,71 b 3. 20 124,3 ab 23,96 ab KK (%) 6,45 12,68
Sumber : Taulu et al. (1993). Budidaya Peremajaan Tebang Bertahap pada
Usahatani Polikultur Kelapa (Maliangkay Ronny Benhdard) 15 Dengan sistim
peremajaan tebang bertahap, setelah kelapa pengganti di tanam, kelapa tua yang
belum di tebang masih dapat di panen hasilnya. Menurut Allorerung (1997) bahwa
pengurangan populasi kelapa tua secara bertahap sebesar 20% diperkirakan dapat
diterima petani mengingat pengurangan produksi tanaman tua berlangsung secara
perlahan. Selain itu, penebangan bertahap sebanyak 20% per tahun pendapatan
petani dari kelapa tua tidak terputus dan lebih besar daripada sistim penebangan
50% sebelum penanaman tanaman pengganti dan 50% ditahun ketiga. Dari ketiga
jenis tanaman sela yang diusahakan, jagung menunjukkan hasil yang lebih tinggi
sampai tahun ketiga.
Rata-rata produksi jagung, kacang tanah dan kacang hijau
yang diperoleh pada tahun pertama masingmasing 1641,7; 1184,0 dan 850,2 kg/ha
untuk sekali tanam. Dengan demikian agar tidak kehilangan produksi dari kelapa
tua sebagai sumber pendapatan, petani dapat memilih cara yang ketiga yaitu
peremajaan kelapa dengan tebang bertahap 20% tiap tahun. Pada tahun ke empat
kelapa hibrida Khina-1 mulai di panen. Rata-rata produksi kelapa tua 76
butir/pohon/ thn. Peremajaan dengan Kelapa Hibrida dan Tanaman Industri Sistem
ini dilakukan untuk memecahkan permasalahan petani yang enggan menebang kelapa
tuanya sebelum tanaman pengganti menghasilkan, dengan tujuan untuk memperoleh
suatu metode peremajaan sisipan, yang tetap menjamin pertumbuhan dan produksi
yang baik dari kelapa pengganti, pendapatan petani dari kelapa tua relatif
tidak berkurang selama kurun waktu tertentu, serta mendapat nilai tambah dari
tanaman sela industri (Maliangkay et al., 1996).
Ada 3 cara waktu penebangan
kelapa tua yang dilakukan setelah tanaman pengganti dan tanaman sela industri
ditanam yaitu : Tanaman kelapa tua ditebang 100% setelah tanaman pengganti
berumur 3, 4 , dan 5 tahun. Ketiga cara ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
jumlah kelapa tua dalam 1 ha tidak kompak lagi atau tinggal 70-80% atau
berkisar 90-100 tanaman. Kelapa pengganti yang digunakan adalah kelapa Hibrida
Khina-1 (Genjah Kuning Nias x Dalam Tenga), jarak tanam 6 x 10 m dengan sistim
empat persegi panjang, jarak dalam baris 6 m dan antara baris 10 m. Bibit yang
digunakan berumur 6 bulan. Tanaman sela industri yang digunakan adalah kakao
Hibrid dan kopi Robusta, ditanam pada jarak 2 m dari tanaman kelapa pengganti
dengan jarak tanam 2 x 3 m.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kelapa
pengganti mulai berbunga pada umur 55 bulan dan tanaman sela kakao atau kopi
mulai menghasilkan pada umur 3 tahun setelah tanam. Produksi per pohon kelapa
pengganti pada berumur 6 tahun tidak berbeda antara yang ditebang setelah 3, 4
dan 5 tahun penanaman kelapa penggganti masing-masing 26,09; 29,64 dan 29,67
butir/pohon/tahun. (Maliangkay et al. 1996). Produksi awal tanaman sela kakao
dan kopi dalam 1 ha masing-masing 415 kg dan 270 kg per ha (biji kering). Hasil
ini hampir sama dengan yang diperoleh di beberapa tempat, baik sebagai tanaman
sela maupun monokultur. Di Kerala India, tanaman sela, kakao yang ditanam satu
dan dua baris di antara kelapa dengan hasil masing-masing 652 dan 801 kg biji
basah/ha/ tahun. Tanaman kopi yang diusahakan secara monokultur dengan budidaya
sederhana di Prafi Manokwari, Irian Jaya, diperoleh hasil 441-572 kg
biji/ha/tahun (Susilo, et al. 1995). Karena produksi tanaman pengganti sampai
pada umur 6 tahun tidak berbeda antara waktu penebangan maka petani dapat
memilih waktu penebangan kelapa tua pada 5 tahun setelah penanaman kelapa
pengganti. Hal ini menguntungkan petani karena selama kurun waktu pelaksanaan
peremajaan 5 tahun tidak kehilangan hasil dari tanaman tua, sementara itu
kelapa pengganti dan tanaman sela kopi dan kakao mulai menghasilkan. Petani
dapat memilih salah satu jenis tanaman industri (kopi atau kakao) yang dapat
digunakan sebagai tanaman sela pada sistem peremajaan ini dengan menebang
kelapa tua setelah tanaman pengganti berumur 5 tahun. Masalah yang dihadapi
bila kelapa tua ditebang setelah kelapa pengganti berumur 5 tahun yaitu terjadi
kerusakan atau kematian bagi tanaman pengganti dan tanaman sela kakao atau kopi.
Dengan demikian perlu hati-hati dalam pelaksanaan penebangan kelapa tua.
Sebelum kelapa ditebang, daun dipangkas maka resiko kerusakan kelapa pengganti
dan tanaman industri hanya sedikit. Peremajaan dengan Sistim Tanam Pagar Konsep
sistim pagar dalam budidaya kelapa yang dimaksudkan adalah suatu sistim tanam
dengan jarak tanam dalam barisan lebih rapat dibandingkan antara barisan
sedemikian rupa sehingga tercipta
ruang dan iklim mikro diantara barisan kelapa yang memungkinkan disesuaikan
dengan pengusahaan komoditi lain (Allorerung dan Mahmud, 1993). Tersedianya
ruang yang lebih luas dan iklim mikro yang lebih mudah disesuaikan, akan
membuka peluang fleksibilitas bagi petani dalam memilih komoditas yang akan
diusahakan. Hal ini juga memungkinkan pencapaian produksi tanaman sela secara
maksimal. Dengan demikian akan tercapai optimalisasi pemanfaatan lahan di
antara kelapa baik dalam perspektif ruang maupun waktu.
Jarak tanam kelapa yang
digunakan adalah 6 x 16 m (Barri et al. 2001). Dengan menggunakan jarak dan
sistem tanam pagar 6 x 16 m, areal di antara barisan tanaman dapat memperoleh
cahaya yang cukup sepanjang umur kelapa. Agar intensitas cahaya maksimal, maka
sejauh mungkin diusahakan arah barisan Timur-Barat dan dilakukan pemangkasan
daun yang menjuntai ke arah areal antar barisan. Pemangkasan daun dimungkinkan
hingga 30% dari total biomassa tajuk (Kaat et al, 1996). Dengan demikian dapat
dilakukan penanaman berbagai jenis tanaman sela yang membutuhkan intensitas
cahaya tinggi sepanjang waktu, mulai dari tanaman pangan, hortikultura hingga
tanaman perkebunan.
Apabila tanaman yang akan diusahakan memerlukan intensitas
cahaya rendah, maka dapat dilakukan penanaman tanaman pelindung. Dengan jarak
antar barisan 16 m, maka tersedia ruang kosong selebar 12 m untuk tanaman sela
seperti jagung, padi dan kacang tanah (Tabel 2). Pilihan atas jarak dan sistem
tanam non konvensional ini menuntut persyaratan pemanfaatan lahan di antara
kelapa secara terus menerus atau ditanami dengan tanaman berumur panjang.
Berdasarkan pengamatan pada umur tanaman 4,5 tahun, maka jarak tanam yang layak
dianjurkan untuk menjawab berbagai tantangan di masa datang adalah 5 x 16 m
atau 6 x 16 m. Walaupun tajuk kelapa dalam baris saling menutupi, kebutuhan
cahaya terkonpensasi dari sisi-sisi yang bebas antar baris tanaman. Pada umur
tersebut praktis sudah tidak memungkinkan menanam tanaman pangan seperti
jagung, padi, dan kacang-kacangan diantara kelapa kalau ditanam dengan jarak 9
m x 9 m segitiga, tetapi untuk jarak tanam 6 m x 16 m lahan diantara tanaman
terlebar (16 m) dapat ditanami terus menerus.
Tabel 2. Produksi beberapa jenis
tanaman di antara berbagai jarak dan sistem tanam kelapa Dalam Mapanget dan
Hibrida Khina umur 54 bulan pada peremajaan dengan sistem tanam pagar. No Jenis
Tanaman pangan Jarak dan sistem tanaman Jenis Kelapa Konversi (kg/ha) 1. Jagung
Segitiga Pagar (16 x 5) Segitiga Gergaji (5 x 3)x16 Khina D.Mapanget D.Mapanget
Khina 1.308 2.921 1.011 1.837 2. Padi Segitiga Pagar (16 x 5) Segitiga Gergaji
(5 x 3)x16 Khina D.Mapanget D.Mapanget Khina 589 1.229 684 1.125 3. Kacang
Tanah Segitiga Pagar (16 x 5) Segitiga Gergaji (5 x 3)x16 Khina D.Mapanget
D.Mapanget Khina 475 959 475 675 Sumber : Barri et al. (2001). Peremajaan
kelapa dengan sistem tanam pagar telah dilakukan di Minahasa, pada tahun
1999/2000 dengan melibatkan 18 petani kooperatif. Kelapa yang digunakan untuk
peremajaan adalah KHINA (Kelapa Hibrida Indonesia), dengan sistim tebang
20%/tahun dan tanaman sela yang digunakan adalah jagung dengan hasil 1,1 ton/ha
untuk sekali tanam (Allorerung et al., 2000). Dari 18 petani kooperatif
tersebut, ternyata ada satu petani yang mengembangkan pola usahataninya selain
jagung juga dengan mengusahakan berbagai tanaman sela seperti pisang, kacang
tanah dan pepaya (Barri et al., 2001). Hal ini disebabkan karena petani
tersebut memiliki modal yang cukup.
KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PEREMAJAAN KELAPA
TEBANG BERTAHAP PADA USAHATANI POLIKULTUR
Secara teknis, sebenarnya teknologi
yang diperlukan untuk melakukan program peremajaan kelapa relatif sudah memadai
(Mahmud dan Allorerung, 1997). Teknologi-teknologi tersebut meliputi :
Teknologi Sistem Peremajaan Inti teknologi ini adalah metode peremajaan tebang
bertahap, yaitu tanaman tua ditebang secara bertahap setelah tanaman baru
ditanam di antara tanaman tua. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan
tanaman pengganti pada penebangan 100% sebelum tanam tidak Budidaya Peremajaan
Tebang Bertahap pada Usahatani Polikultur Kelapa (Maliangkay Ronny Benhdard) 17
berbeda nyata dengan perlakuan penebangan secara bertahap 50% tahun I dan II
atau 20% tiap tahun (Mahmud et al, 1990). Pengurangan populasi kelapa tua
setelah tanaman pengganti menghasilkan atau secara bertahap sebesar 20%
diperkirakan dapat diterima petani mengingat pengurangan produksi tanaman tua
berlangsung secara perlahan. Jika hal ini disertai pengusahaan tanaman sela,
maka praktis kehilangan pendapatan secara bertahap dari kelapa tua, menjadi tidak
berarti (Allorerung, 1999).
Beberapa hasil penelitian menggunakan kelapa
Hibrida Khina sebagai tanaman pengganti, sedangkan tanaman pangan (jagung,
kacang tanah dan kacang hijau) dan tanaman industri (kakao hibrida dan kopi
Robusta) sebagai tanaman sela. Teknologi sistim peremajaan tersebut adalah: (a)
Peremajaan dengan kelapa Hibrida Khina-1 dan tanaman pangan, (b) Peremajaan
dengan kelapa hibrida dan tanaman industri, dan (c) Peremajaan dengan sistem
tanam pagar (Mahmud et al., 1990; Taulu et al., 1993; Allorerung, 1997;
Maliangkay et al., 1996; Allorerung dan Mahmud, 1993; Barri et al., 2001).
Teknologi Pemanfaatan Lahan Berbagai alternatif teknologi telah tersedia,
meskipun beberapa di antaranya masih memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian
dengan kondisi setempat. Teknologi yang tersedia mencakup pengusahaan tanaman
pangan dan hortikultura serta tanaman industri lainnya. Jenis tanaman yang
diusahakan disesuaikan dengan topografi, iklim, umur tanaman, sosial budaya
petani, dan peluang pasar. Menurut Tarigans (2000) untuk memilih tanaman sela
yang sesuai dan prospektif untuk dikembangkan memerlukan kriteria umum sebagai
berikut : (1) Tanaman sela tidak lebih tinggi dari tanaman kelapa selama
periode pertumbuhan dan sistem perakaran dan tajuknya menempati horizon tanah
dan ruang yang berbeda (Mahmud, 1998; Rethinam, 2001), (2) Tanaman sela tidak
merupakan tanaman inang bagi hama dan penyakit kelapa (Mahmud, 1998; Rethinam,
2001), (3) Sesuai untuk diusahakan pada ketinggian 0-500 m.dpl dengan curah
hujan 1.500-3.000 mm/tahun dengan bulan kering maksimal 3 bulan berturut-turut
(Mahmud, 1998), (4) Tanaman sela dipilih berdasarkan toleransinya terhadap
naungan dan jumlah intensitas radiasi yang tersedia (Magat, 1999b dan Rethinam,
2001), (5) Pengelolaan tanaman sela tidak menyebabkan kerusakan tanaman kelapa
atau menyebabkan terjadinya erosi atau kerusakan tanah (Mahmud, 1998; Rethinam,
2001), dan (6)
Tanaman sela yang dipilih memiliki pasar dengan harga yang tidak
fluktuatif (Arancon, 2001; Rethinam, 2001 dan Tarigans, 2000). Agar pemanfaatan
lahan lebih optimal pada periode paska peremajaan dan untuk alasan
fleksibilitas menghadapi berbagai perubahan, maka telah tersedia teknologi
jarak dan sistem tanam baru. Jarak dan sistem tanam baru tersebut dikenal dengan
sistem pagar, yaitu jarak antar baris diperlebar (12-16 m) dan jarak dalam
baris dipersempit menjadi (5-6 m). Dengan jarak dan sistem tanam baru tersebut
populasi kelapa berkisar antara 119 dan 140 pohon/ha (Allorerung dan Mahmud,
1993). Teknologi Perbaikan Bahan Tanaman Telah tersedia kultivar-kultivar
unggul, baik untuk kelapa Dalam dan Hibrida maupun kelapa Genjah. Jenis kelapa
yang akan digunakan dalam peremajaan harus memperhatikan ekosistem lokasi,
macam produk yang akan dihasilkan dan kemampuan petani. Kelapa Dalam disarankan
untuk daerah curah hujan terbatas dan atau solum tanah kurang dari 1 m, untuk
lahan kering. Sedangkan kelapa Genjah disarankan untuk menghasilkan kelapa
muda, selain sebagia tetua dalam pembuatan kelapa Hibrida. Kelapa Dalam unggul
yang sudah dikarakterisasi meliputi Dalam Tenga (DTA), Dalam Palu (DPU), Dalam
Bali (DBI), Dalam Mapanget (DMT), Dalam Riau (DRU), dan Dalam Sawarna (DSA).
Kelapa hibrida yang telah disarankan meliputi Khina-1 (kelapa hibrida
Indonesia), Khina-2, dan Khina-3. Selain itu kelapa Hibrida Dalam x Dalam
seperti kelapa Baru atau KB1 dan KB2 serta KB3. Sedangkan kelapa Genjah yang
sudah dikarakterisasi antara lain Genjah Kuning Nias (GKN) dan Genjah Salak
(GSK). Di samping itu, masih banyak blok-blok penghasil tinggi yang sudah
diidentifikasi yang dapat digolongkan unggul dan atau unggul lokal yang ada
pada kebun petani setelah dievaluasi secara seksama, agar tidak terjadi
kehilangan atau erosi genetik dari kelapa. Teknologi Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman untuk tanaman kelapa peremajaan pada dasarnya sama saja
dengan tanaman kelapa biasa yang meliputi pemupukan, penyiangan, serta
pengendalian hama dan penyakit (Allorerung et al, 2002). Penggunaan 18 – Volume
4 Nomor 1, Juni 2005 : 11 - 19 tanaman penutup tanah tidak direkomendasikan
lagi, kecuali untuk maksud pengendalian erosi tanah atau pada kebun-kebun yang
tidak direncanakan menanam tanaman sela, sehingga bertujuan pengendalian
hama/gulma. Dengan dikembangkannya konsep pengusahaan kelapa secara polikultur,
maka beberapa aspek pemeliharaan mungkin perlu penyesuaian. Takaran pupuk
mungkin dapat diturunkan karena kelapa ikut memanfaatkan pupuk yang diberikan
untuk tanaman sela. Pengendalian gulma hanya dilakukan di daerah bobokor.
Teknologi Pemanfaatan Kayu Kelapa Kayu kelapa telah lama digunakan oleh petani
sebagai bahan bangunan, khususnya untuk bagian yang tidak terkena hujan. Dewasa
ini kayu kelapa telah digunakan pula dalam industri furniture dan rumah mewah.
Minat konsumen terhadap produk berbahan kayu kelapa, baik dalam negeri maupun
mancanegara terus meningkat. Pada dasarnya teknologi pengolahan dan pengawetan
kayu kelapa tidak berbeda dengan teknologi kayu pada umumnya. KESIMPULAN Secara
Nasional tanaman kelapa memiliki luas 3,7 juta ha dengan produktivitas yang
rendah yaitu, 1,1 ton kopra/ha/tahun, sebagian besar diusahakan secara
monokultur. Sekitar separuh dari jumlah tanaman kelapa yang ada telah berumur
tua, diatas 50 tahun, sehingga perlu diremajakan.
Peremajaan kelapa dengan
sistem tebang habis enggan dilakukan oleh petani karena akan kehilangan hasil
dari kelapa tua. Hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkan menyimpulkan
bahwa peremajaan kelapa dengan tebang bertahap sebesar 20%/tahun dan diikuti
dengan teknologi pengusahaan tanaman sela diantara kelapa (polikultur) dan
menggunakan jarak dan sistem tanam kelapa 6 x 16 m adalah cara yang paling baik
karena sangat memungkinkan fleksibilitas dalam memilih jenis komoditas yang
sesuai iklim dan pasar serta memungkinkan pertanaman di antara kelapa
berlangsung secara terus menerus.
(sumber MALIANGKAY
RONNY BENHDARD Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Indonesian
Coconut and Palmae Research Institute : 2005)